“Ternyata gini rasanya jadi orang dewasa yang naik tangga sampai puncak Borobudur.”
Viani, 26 tahun.


Kawasan Borobudur emang nggak ada matinya. Buat orang Indonesia sendiri, saat ini, Borobudur pop up dengan rasa yang bener-bener beda; dari rasa zaman Syailendra di buku pelajaran sejarah ke rasa zaman Cinta Rangga di AADC.
Udah bukan masanya lagi ngomongin Borobudur hanya sekedar candi. Otaknya anak kekinian pasti otomatis connect ke Punthuk Setumbu dan Gereja Ayam waktu denger Borobudur disebut.

Berawal dari agenda nganter teman yang pengen liat Candi Borobudur, saya nebeng kesempatan dengan nyelipin sunrise di itinerary. Karena requestnya adalah ke Borobudur untuk liat candi, saya pilih lokasi sunrise langsung di kompleks candinya, bukan di Punthuk, bukan di Gereja Ayam.

Satu-satunya tempat yang punya akses masuk ke Candi Borobodur di luar jam buka tutup normal adalah Manohara Resort. Lewat Manohara Resort, kita bisa pilih untuk sunrise atau sunset di Candi Borobudur.

Hari itu, di jam 4 pagi kami berangkat dari Omah Eling menuju Manohara.
Naik apa? Naik ojek.
Subuh-subuh? Gimana carinya?
Keluar aja dari hotel, nggak pake lama bakal ada Mas-Mas dadakan yang nyamperin, “Ojek, Mbak?”
“Tapi saya butuhnya buat 4 orang, Pak”
“Tunggu sebentar ya, Mbak, saya panggil temen-temen.”
Semudah itu.
Taken from Google

Tiket sunrise bisa langsung dibeli di bagian reception Manohara Center of Borobudur Study, bukan di reception Manohara Hotel. Jangan salah karena Manohara punya lobi hotel dan lobi buat sunrise. Mas-mas ojek sudah cukup paham soal ini, bilang aja “Mau sunrise di Manohara”.

Harga tiket masuknya luar biasa kece, Rp 325,000 per orang, include peminjaman senter, snack pagi, dan souvernir. Ya at least sekali dalam seumur hidup bolehlah dicoba. Kapan lagi nikmatin sunrise gelap-gelapan langsung di puncak candi, ya kan?! Harga terupdate Manohara Borobudur package bisa cek disini.

Kali pertama saya ke Borobudur adalah kelas 3 atau 4 SD, berdua sama Mbah Putri. Yang paling saya inget, saya nggak pake tenaga banget naik dari bawah sampe puncak candi. Mbah Puteri naik sambil megangin lutut dan paha; saya  setengah lari, dan Mbah Puteri selalu ketinggalan di belakang. Besoknya Mbah tanya, “Kram nggak kakinya? Memar nggak kakinya?” Barangkali kuatir saya kecapean jalan-jalan di Borobudur. Dan saya tetep nggak ngerti, apa sih susahnya naik ke puncak candi?
Bertambahnya umur akan mengajarkanmu sesuatu.
Di usia 26 tahun, yang ada di pikiran selama naik ke puncak candi, “ternyata gini rasanya jadi orang dewasa yang naik tangga sampai puncak Borobudur.” Ngos-ngosan sih nggak, tapi butuh berhenti beberapa kali karena pegel. Dan saya paham rasanya jadi Mbah Puteri waktu itu.

Nungguin sunrise pagi itu beneran harap-harap cemas. Sampai tengah malam, Magelang hujan deras. Apa mau dikata, udah sejauh ini, asikinlah ya.

Kita. Nggak. Dapet. Sunrise.
Langit pagi itu agak mendung dan berawan.
Mau sedih tapi yaudah.
Ada kok beberapa hal lain yang lebih menyedihkan. Jadi, biasa aja.
Ya nggak usah curhat.


Anyway, Borobudur nggak pernah kehilangan pesona.
Saya tetep nggak habis pikir gimana caranya orang zaman dulu numpuk-numpukin batu sampai jadi candi yang disetiap sisinya terukir relief sedetail itu.
Jangankan bikin ukiran, di zaman ini, saya bikin telur mata sapi kuningnya bulet aja ga bisa.
Kan sedih.

Morning Snack di Manohara

Ya gitu sih, namanya hidup.
Ngarep boleh, tapi ikhlas harus.
Nggak dapet sunrise aku gapapa, nggak dapet kamu, aku merana.
Yakali, Vi. 

A Glimpse of Omah Eling Borobudur
Cari penginapan di area Borobudur dan ketemulah Omah Eling.
Apa yang bikin jatuh cinta?
Interiornya.


Lokasi Omah Eling strategis banget karena bersebelahan dengan area masuk Candi Borobudur. Nggak perlu pusing cari tempat makan malam karena ada banyak plihan makanan disekitarnya. Dan yang paling saya suka: hotelnya bersih :)

Borobudur Sunrise

by on February 27, 2018
“Ternyata gini rasanya jadi orang dewasa yang naik tangga sampai puncak Borobudur.” Viani, 26 tahun. Kawasan Borobudur emang ngg...

“Jangan tidur kemaleman, besok panen nggak ada yang ngawasin. Sini bobo.”
Atau, “Pak, kopinya di meja, roti tawar masih dipanggang. Tungguin dulu ya, aku nyiram kembang sebentar.”
Atau, “Aku mau tambah nanem seledri di ujung sana, biar bau rumahnya makin seger.”
Atau, “Tuh kan bagus. Udah dari dulu aku pengen punya Pohon Kayu Putih. Makasih ya, Pak.”
Atau, “Masa ada sih orang nggak suka suara tonggeret?"

Suatu hari, suamiku dengan beberapa assisten kebun pergi ke pasar untuk cari bibit dan pupuk.
Aku di rumah dengan celemek menempel di badan membereskan alat makan dan sisa sarapan. Sebelum mandi, aku sempatkan cek kamar satu per satu untuk memastikan seprei, sarung bantal, sarung guling, atau selimut yang perlu dicuci hari itu sudah dilepas dan dikumpulkan. Sesekali menyapukan tangan di sisi dipan atau di atas meja supaya yakin kamar sudah dibersihkan.

Aku sibuk di dapur jelang malam.
Suamiku suka makan sayur.
Sayur kami dari hasil kebun sendiri.
Aku juga makin suka makan sayur.

Tugas utama suamiku mengurus kebun.
Sedang aku fokus pada marketing dan mengurus homestay.
Iya, selain petani kebun, kami jadi host untuk teman-teman yang mau singgah di rumah kami.
Homestay kami banyak bonusnya: bisa ikut berkebun, makanan yang dimasak berbahan dasar fresh from the farm, dan di waktu malam setelah dinner, kami, aku dan suamiku, akan dengan senang hati mendongengkan cerita perjalanan kami di waktu muda, dimana kami keliling dunia berteman carrier atau road trip ke berbagai tempat sampai lupa pulang.
Ruang tengah kami tidak besar, tapi cukup untuk berkumpul; tembok putih besar di sisi depan ruangan sengaja kami kosongkan supaya leluasa disorot Infocus. Dulu, kami suka membuat video perjalanan. Sesekali kami putar jika kamu penasaran atau kita bisa nonton film apapun bersama.

Selamanya,

Kadang, saya bisa punya mimpi setinggi langit. Saya juga sering menggebu-gebu.
Tapi kadang, mimpi saya bisa begitu sederhana: punya tanah luas di sisi gunung dengan rumah berukuran cukup di tengahnya.

Sampai kita tua, sampai jadi debu.
Ku di liang yang satu, ku disebelahmu.


Mimpi Siang

by on February 23, 2018
  “Jangan tidur kemaleman, besok panen nggak ada yang ngawasin. Sini bobo.” Atau, “Pak, kopinya di meja, roti tawar masih dipanggang. ...
Sebagian percaya bahwa masalah diciptakan sepaket dengan jalan keluarnya, sedang sisanya pada just lessons learned.


Sedih nggak dilarang.
Resah, gundah, ngeluh, bikin status galau, bikin instastory gelap pake lagu curhat, bikin caption kode, atau ngabisin waktu dipojokan sambil nangis seharian juga boleh.
Satu-satunya yang bisa menyelamatkanmu adalah dirimu sendiri; jadi berusahalah, karena akan selalu ada cara yang layak dicoba untuk mengatasinya, atau minimal untuk melaluinya.
Bijaksanalah dalam mengatur waktu; sebagian buat sedih, sebagian buat bangun.

Manusia yang lagi sedih pada umumnya hanya butuh didengarkan, kecuali kalo di akhir cerita mereka bilang, “gimana menurutmu?”
Sedang manusia yang lagi nggak sedih, atau nggak mengalami hal serupa, cenderung agresif dan jago kasih komentar.
Saya? Agresif dan sok jago; sedang berusaha nahan komentar atau kasih saran yang muluk.

Selalu ada cara yang layak dicoba untuk mengatasinya, atau minimal untuk melaluinya.
Setiap orang meracik obatnya sendiri. Saya bukan pemberi pendapat dan saran yang baik untuk orang lain, dan sejujurnya saya kurang berminat untuk itu. Saran saya selalu general:
1. Sedih boleh, tapi jangan lama-lama. Jiwamu hanya butuh waktu untuk sembuh – untuk menetralisir rasa sakitnya. Dalam beberapa hal, mungkin kamu sebenarnya hanya butuh break, bukan menyerah, jadi jangan lupa kembali berusaha. Berusahalah sesuai intuisimu, (jika perlu) hingga seburuk apapun kondisi yang bakal kamu dapati, at least, pada akhirnya kamu nggak lagi menduga-duga.

2. Pada titik tertentu, kamu akan benar-benar tau, mana lanjut dan berhenti. Setelah sejauh ini, yakinlah bahwa apapun kondisinya, adalah hal terbaik yang bisa kamu dapatkan. Barangkali kamu memang perlu pecut untuk tak gentar atau barangkali kamu sedang diajarkan mengenal cukup.

3. Kembalikan segalanya kepada Tuhan. Ikhlaslah, karena sesungguhnya manusia nggak banyak tau. Apa yang terjadi setelah seluruh upayamu adalah yang paling baik buatmu, barangkali Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal buruk yang akhirnya nggak terjadi – yang kamu nggak pernah tau, atau kalau bukan untuk hari ini, yakinlah pasti untuk suatu hari.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah 216)

P.S. Dari berbagai cara yang mungkin ada, saya akan suka melaluinya bersama kamu. Lewat jalanan yang kita lalui dengan diam, lewat obrolan dingin di bawah kuningnya langit sore, lewat kemasa-bodohanku yang berharap diajak bicara duluan, lewat tatapan dingin yang berdoa dipeluk tiba-tiba. #poem

Don't Worry, Be Happy

by on February 11, 2018
Sebagian percaya bahwa masalah diciptakan sepaket dengan jalan keluarnya, sedang sisanya pada  just lessons learned . Sedih nggak ...

My Blog List